Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

ALQUR'AN ONLINE

Jumat, 30 April 2010

- PESANTREN TRADISIONAL DI TENGAH TANTANGAN MODERNISASI

- PESANTREN TRADISIONAL DI TENGAH TANTANGAN MODERNISASI


PESANTREN TRADISIONAL DI TENGAH TANTANGAN MODERNISASI



A. PENDAHULUAN
Dunia pesantren adalah dunia yang mewarisi dan memelihara kontinuitas tradisi Islam yang dikembangkan ulama dari masa ke masa, dan hal tersebut tidak terbatas pada periode tertentu dalam sejarah Islam, karenanya tidak sulit bagi dunia pesantren untuk melakukan penyesuaian terhadap berbagai perubahan yang terjadi. Maka itu kemamupuan pesantren untuk tetap bertahan dalam setiap perubahan, bukan sekedar karena karakteristiknya yang khas, tetapi juga karena kemampuannya dalam melakukan perbaikan terus menerus secara otodidak.
Pondok Pesantren dalam proses pendidikannya lebih menitikberatkan pada ajaran Agama, tetapi pada perkembangannya sekarang pendapat ini sedikit berubah mengingat beberapa pesantren telah mencoba menerapkan system sekolah baik madrasah maupun diniyah yang juga mengajarkan ilmu umum. Serta telah dilengkapinya pendidikan dengan peralatan laiknya sekolah modern seperti adanya laboratorium, komputerisasi, dll sehingga lulusan pesantren diharapkan memiliki kualitas yang sama dengan lulusan sekolah biasa. Jenis pesantren ini disebut dengan pesantren modern yang beberapa kalangan menilai sebagai pesantren ideal.
Hanya saja, perkembangan pesantren kearah yang modern ini seringkali melupakan khittahnya sebagai basis Agama sehingga tak jarang pesantren yang telah menerapkan system modern (barat) ini seperti kehilangan ruh, nilai dan jiwa. Sehingga tak jarang lulusan dari pesantren masih berkepribadian dengan moral yang jauh dari harapan. Hal ini bisa disebabkan barangkali karena banyak santri yang masuk berasal dari golongan kaya yang notabene selalu bersikap mewah, tidak mandiri, dan individualis. Kumpulan santri yang mempunyai sifat sama ini kemudian sedikit banyak menggerus jiwa kesederhanaan, dan kemandirian pondok.

B. DINAMIKA PESANTREN
1. Pengertian Pondok Pesantren

Pondok pesantren adalah salah satu pendidikan Islam di Indonesia yang mempunyai ciri-ciri khas tersendiri. Definisi pesantren sendiri mempunyai pengertian yang bervariasi, tetapi pada hakekatnya mengandung pengertian yang sama.
Perkataan pesantren berasal dari bahasa sansekerta yang memperoleh wujud dan pengertian tersendiri dalam bahasa Indonesia. Asal kata san berarti orang baik (laki-laki) disambung tra berarti suka menolong, santra berarti orang baik baik yang suka menolong. Pesantren berarti tempat untuk membina manusia menjadi orang baik.
Sementara itu ada juga yang memberikan batasan pesantren sebagai gabungan dari berbagai kata pondok dan pesantren, istilah pesantren diangkat dari kata santri yang berarti murid atau santri yang berarti huruf sebab dalam pesantren inilah mula-mula santri mengenal huruf, sedang istilah pondok berasal dari kata funduk (dalam bahasa Arab) mempunyai arti rumah penginapan atau hotel. Akan tetapi pondok di Indonesia khususnya di pulau jawa lebih mirip dengan pemondokan dalam lingkungan padepokan, yaitu perumahan sederhana yang dipetak-petak dalam bentuk kamar-kamar yang merupakan asrama bagi santri.
Dalam catatan sejarah, Pondok Pesantren dikenal di Indonesia sejak zaman Walisongo. Ketika itu Sunan Ampel mendirikan sebuah padepokan di Ampel Surabaya dan menjadikannya pusat pendidikan di Jawa. Para santri yang berasal dari pulau Jawa datang untuk menuntut ilmu agama. Bahkan di antara para santri ada yang berasal dari Gowa dan Talo, Sulawesi.
Pesantren Ampel merupakan cikal bakal berdirinya pesantren-pesantren di Tanah Air. Sebab para santri setelah menyelesaikan studinya merasa berkewajiban mengamalkan ilmunya di daerahnya masing-masing. Maka didirikanlah pondok-pondok pesantren dengan mengikuti pada apa yang mereka dapatkan di Pesantren Ampel.
Kesederhanaan pesantren dahulu sangat terlihat, baik segi fisik bangunan, metode, bahan kajian dan perangkat belajar lainnya. Hal itu dilatarbelakangi kondisi masyarakat dan ekonomi yang ada pada waktu itu. Yang menjadi ciri khas dari lembaga ini adalah rasa keikhlasan yang dimiliki para santri dan sang Kyai. Hubungan mereka tidak hanya sekedar sebagai murid dan guru, tapi lebih seperti anak dan orang tua. Tidak heran bila santri merasa kerasan tinggal di pesantren walau dengan segala kesederhanaannya. Bentuk keikhlasan itu terlihat dengan tidak dipungutnya sejumlah bayaran tertentu dari para santri, mereka bersama-sama bertani atau berdagang dan hasilnya dipergunakan untuk kebutuhan hidup mereka dan pembiayaan fisik lembaga, seperti lampu, bangku belajar, tinta, tikar dan lain sebagainya.
Materi yang dikaji adalah ilmu-ilmu agama, seperti fiqih, nahwu, tafsir, tauhid, hadist dan lain-lain. Biasanya mereka mempergunakan rujukan kitab klasik atau yang dikenal dengan kitab kuning. Di antara kajian yang ada, materi nahwu dan fiqih mendapat porsi mayoritas. Hal itu karena mereka memandang bahwa ilmu nahwu adalah ilmu kunci. Seseorang tidak dapat membaca kitab kuning bila belum menguasai nahwu. Sedangkan materi fiqih karena dipandang sebagai ilmu yang banyak berhubungan dengan kebutuhan masyarakat (sosiologi). Tidak heran bila sebagian pakar meneyebut sistem pendidikan Islam pada pesantren dahulu umumnya berorientasi pada fiqih (fiqih orientied) atau berorientasi pada nahwu (nahwu orientied).
Masa pendidikan tidak tertentu, yaitu sesuai dengan keinginan santri atau keputusan sang Kyai bila dipandang santri telah cukup menempuh studi padanya. Biasanya sang Kyai menganjurkan santri tersebut untuk nyantri di tempat lain atau mengamalkan ilmunya di daerah masing-masing. Para santri yang tekun biasanya diberi “ijazah” dari sang Kyai.
Lokasi pesantren model dahulu tidaklah seperti yang ada kini. Ia lebih menyatu dengan masyarakat, tidak dibatasi pagar (komplek) dan para santri berbaur dengan masyarakat sekitar. Bentuk ini masih banyak ditemukan pada pesantren-pesantren kecil di desa-desa Banten, Madura dan sebagian Jawa Tengah dan Timur.
Pesantren dengan metode dan keadaan di atas kini telah mengalami reformasi, meski beberapa materi, metode dan sistem masih dipertahankan. Namun keadaan fisik bangunan dan masa studi telah terjadi pembenahan.

2. Komponen Pondok Pesantren
Secara umum pesantren memiliki komponen-komponen kyai, santri, masjid, pondok dan kitab kuning. Berikut ini pengertian dan fungsi masing-masing komponen. Sekaligus menunjukkan serta membedakannya dengan lembaga pendidikan lainnya, yaitu :
a. Pondok :
Definisi singkat istilah ‘pondok’ adalah tempat sederhana yang merupakan tempat tinggal kyai bersama para santrinya.
Salah satu niat pondok selain dari yang dimaksudkan sebagai tempat asrama para santri adalah sebagai tempat latihan bagi santri untuk mengembangkan ketrampilan kemandiriannya agar mereka siap hidup mandiri dalam masyarakat sesudah tamat dari pesantren.
Sistem asrama ini merupakan ciri khas tradisi pesantren yang membedakan sistem pendidikan pesantren dengan sistem pendidikan Islam.
b. Masjid
Dalam konteks ini, masjid adalah sebagai pusat kegiatan amaliyah seperti ibadah dan belajar mengajar. Masjid yang merupakan unsur pokok kedua dari pesantren, disamping berfungsi sebagai tempat melakukan sholat berjamaah setiap waktu sholat, juga berfungsi sebagai tempat belajar mengajar. Biasanya waktu belajar mengajar berkaitan dengan waktu shalat berjamaah, baik sebelum maupun sesudahnya.
c. Santri
Santri merupakan unsur pokok dari suatu pesantren, tentang santri ini biasanya terdiri dari dua kelompok :
1. Santri mukim; ialah santri yang berasal dari daerah yang jauh dan menetap dalam pondok pesantren.
2. Santri kalong (laju); ialah santri-santri yang berasal dari daerah-daerah sekitar pesantren dan biasanya mereka tidak menetap dalam pesantren. Mereka pulang ke rumah masing-masing setiap selesai mengikuti suatu pelajaran di pesantren.
d. Kyai
Peran penting kyai dalam pendirian, pertumbuhan, perkembangan dan pengurusan sebuah pesantren berarti dia merupakan unsur yang paling esensial. Sebagai pemimpin pesantren, watak dan keberhasilan pesantren banyak bergantung pada keahlian dan kedalaman ilmu, karismatik dan wibawa, serta ketrampilan kyai. Dalam konteks ini, pribadi kyai sangat menentukan sebab dia adalah tokoh sentral dalam pesantren
e. Kitab-kitab Islam klasik
Unsur pokok lain yang cukup membedakan peantren dengan lembaga lainnya adalah bahwa pada pesantren diajarkan kitab-kitab Islam klasik atau yang sekarang terkenal dengan sebutan kitab kuning, yang dikarang oleh para ulama terdahulu, mengenai berbagai macam ilmu pengetahuan agama Islam dan bahasa Arab. Kitab-kitab yang merupakan warisan agung dari para ulama’ terdahulu tersebut terus dipertahankan dan dilestarikan.
Pelajaran dimulai dengan kitab-kitab yang sederhana, kemudian dilanjutkan dengan kitab-kitab tentang berbagai ilmu yang mendalam. Tingkatan suatu pesantren dan pengajarannya, biasanya diketahui dari jenis-jenis kitab-kitab yang diajarkan.
3. Tipologi Pondok Pesantren
Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam mengalami perkembangan bentuk sesuai dengan perubahan zaman, terutama sekali adanya dampak kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perubahan bentuk pesantren bukan berarti sebagai pondok pesantren yang telah hilang kekhasannya. Dalam hal ini pondok pesantren tetap merupakan lembaga pendidikan Islam yang tumbuh dan berkembang dari masyarakat untuk masyarakat.
Secara faktual ada beberapa tipe pondok pesantren yang berkembang dalam masyarakat, yang meliputi:
a. Pondok Pesantren Tradisional (Salafiyah)
Pondok pesantren ini masih tetap mempertahankan bentuk aslinya dengan semata-mata mengajarkan kitab yang ditulis oleh ulama’ pada abad ke 15 M dengan menggunakan bahasa arab.
b. Pondok Pesantren Modern
Pondok pesantren ini merupakan pengembangan tipe pesantren karena orientasi belajaranny cenderung mengadopsi seluruh sistem belajar secara klasik dan meninggalkan sistem belajar tradisional. Penerapan sistem belajar modern ini terutama nempak pada bangunan kelas-kelas belajar baik dalam bentuk madrasah maupun sekolah.
Kurikulum yang dipakai adalah kurikulum sekolah atau madrasah yang berlaku secara nasional. Santrinya ada yang menetap ada yang tersebar di sekitar desa itu. Kedudukan para kyai sebagai koordinator pelaksana proses belajar mengajar langsung di kelas. Perbedaannya dengan sekolah dan madrasah terletak pada porsi pendidikan agama dan bahasa Arab lebih menonjol sebagai kurikulum lokal.
c. Pondok Pesantren Komprehensif
Sistem pesantren ini merupakan sistem pendidikan dan pengajaran gabungan antara yang tradisional dan yang modern. Artinya di dalamnya diterapkan pendidikan dan pengajaran kitab kuning dengan metode sorogan, bandongan dan wektonan, namun secara reguler sistem persekolahan terus dikembangkan. Bahkan pendidikan ketrampilan pun diaplikasikan sehingga menjadikannya berbeda dari tipologi kesatu dan kedua
4. Metode Pembelajaran Pesantren Salaf
Metode tradisional adalah berangkat dari pola pelajaran yang sangat sederhana dan sejak semula timbulnya, yakni pola pengajaran sorogan, bandongan dan wetonan dalam mengkaji kitab-kitab agama yang ditulis oleh para ulama’ pada zaman abad pertengahan dan kitab-kitab itu dikenal dengan istilah “kitab kuning”.
a. Metode Sorogan
Sorogan berasal dari kata sorog (bahasa jawa) yang berarti menyodorkan, sebab setiap santri menyodorkan kitabnya dihadapan kyai atau pembantunya (badal, asisten Kyai). Sistem sorogan ini termasuk belajar secara individual, dimana seorang santri berhadapan dengan seorang guru, dan terjadi interaksi saling mengenal diantara keduanya. Sistem sorogan ini terbukti sangat efektif sebagai taraf pertama bagi seorang murid yang bercitacita menjadi alim. Sistem ini memungkinkan seorang guru mengawasi, menilai dan membimbing secara maksimal kemampuan seorang santri dalam menguasai materi pembelajaran. Sorogan merupakan kegiatan pembelajaran bagi para santri yang lebih menitik beratkan pada pengembangan kemampuan perorangan (individual), di bawah bimbingan seorang Kyai atau ustadz. Pelaksanaannya, santri yang banyak itu datang bersama, kemudian mereka antri menunggu gilirannya masing-masing, sambil mempelajari materyang akan di soroggan. Dengan sistem pengajaran secara sorogan ini memungkinkan hubungan kyai dengan santri sangat dekat, sebab kyai dapat mengenal kemampuan pribadi santri secara satu satu persatu. Kitab yang disorogkan kepada kyai oleh santri yangsatu dengan santri yang lain tidak harus sama.
b. Metode Wetonan/bandongan
Istilah weton berasal dari kata wektu (bahasa jawa) yang berarti waktu, sebab pengajian tersebut diberikan pada waktu-waktu tertentu, yaitu sebelum dan atau sesudah melakukan shalat fardu. Metode weton ini merupakan metode kuliah, dimana para santri mengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling kyai yang menerangkan pelajaran, Santri menyimak kitab masing-masing dan membuat cacatan padanya. Istilah wetonan ini di Jawa Barat di sebut dengan bandongan. Tetapi sekarang ini banyak pesantren telah menggunakan metode pengajaran dengan memadukan antara model yang lama dengan model pengajaran yang modern yaitu dengan memadukan metode klasikal yang bertingkat.
c. Halaqah/Musyawarah
Halaqah, sistem ini merupakan kelompok kelas dari sistem bandongan. Halaqah yang arti bahasanya lingkaran murid, atau sekelompok siswa yang belajar di bawah bimbingan seorang guru atau belajar bersama dalam satu tempat.
Metode ini dimaksudkan sebagai penyajian bahan pelajaran dengan cara murid atau santri membahasnya bersama-sama melalui tukar pendapat tentang suatu topik atau masalah tertentu yang ada dalam kitab kuning. Dalam metode ini, kiai atau guru bertindak sebagai “moderator”. Metode diskusi bertujuan agar murid atau santri aktif dalam belajar. Melalui metode ini, akan tumbuh dan berkembang pemikiran-pemikiran kritis, analitis, dan logis.
d. Hafalan/Tahfidz.
Metode hapalan yang diterapkan di pesantren-pesantren, umumnya dipakai untuk menghafal kitab-kitab tertentu, misalnya Alfiyah Ibn Malik. Metode hafalan juga sering diterapkan untuk pembelajaran al-Qur`an-Hadits. Dalam pembelajaran al-Qur'an metode ini biasa disebut metode Tahfizh al-Qur'an. Biasanya santri diberi tugas untuk mengh fal beberapa bait dari kitab alfiyah, dan setelah beberapa hari baru dibacakan di depan kyai/ustadnya. Dalam pengembangan metode Hafalan atau Tahfizh ini, pola penerapannya tidak hanya menekankan hafalan tekstual dengan berbagai variasinya, tetapi harus juga melibatkan atau menyentuh ranah yang lebih tinggi dari kemampuan belajar. Artinya, hafalan tidak saja merupakan kemampuan intelektual sebatas ingatan tetapi juga sampai kepada pemahaman, analisis, dan evaluasi. Bagaimanapun, hafalan sebagai metode pembelajaran maupun sebagai hasil belajar tidak dapat diremehkan, seperti yang sering terdengar dari pernyataanpernyataan sumbang para pengamat pembelajaran. Hafalan harus dipandang sebagai basis untuk mencapai kemampuan intelektuan yang lebih tinggi.
e. Bahtsul Masa’il
Suatu metode yang belajar untuk memecahkan masalah secara bersama-sama dalam bentuk diskusi. Masalah yang disikapi adalah masalah-masalah sosial apapun yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dan menuntut kejelasan hukum. Biasanya juga adalah masalah terkini yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Hal ini biasanya setiap peserta mencoba menjawab masalah yang sedang dibahas dengan menjadikan sumber dasar ajaran agama dan produk pemikiran ulama’ kontemporer sebagai rujukan/refrensi.
Hanya saja untuk santri di lingkungan pesantren, bahtsul masail menjadi media pembelajaran dan masuk dalam kegiatan ekstrakurikuler atau kegiatan ilmiah untuk memahami kitab-kitab kuning.
5. Peranan dan Fungsi Pesantren
Realitas menunjukkan bahwa perkembangan pesantren terus menapaki tangga kemajuan, ini terbukti di sebagian pesantren telah mengembangkan kelembagaannya dengan membuka sistem madrasah, sekolah umum, dan diantaranya ada juga yang membuka semacam lembaga pendidikan kejuruan seperti bidang pertanian, peternakan, teknik dan sebagainya.
Meskipun perjalanan pesantren mengalami adaptasi dan penyesuaian, pada tataran praktis pesantren tetap memiliki fungsi-fungsi sebagai:
a. Lembaga pendidikan yang melakukan transfer dan transformasi ilmu-ilmu agama (tafaqquh fid din) dan nilai-nilai Islam (Islamic values)
b. Lembaga keagamaan yang melakukan kontrol sosial (social control)
Agar masyarakat berperilaku sesuai dengan pedoman, pengendalian sosial merupakan mekanisme untuk mencegah terjadinya penyimpangan dan mengarahkan anggota masyarakat untuk bertindak menurut norma-¬norma dan nilai-nilai yang telah melembaga.
Pengendalian sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat. Apabila pengendalian sosial tidak diterapkan, akan mudah terjadi penyimpangan sosial dan tindakan amoral lainnya. Dalam hal ini pesanren sebagai lembaga keagamaan berperan dalam kontrol sosial tersebut. Hal ini karena di daalm pesantren terdapat kyai yang ditokohkan oleh masyarakat yang dapat menjadi panutan bagi mereka.
c. Lembaga keagamaan yang melakukan rekayasa sosial (social engineering).
Sebagai lembaga keagamaan yang mempunyai peran dalam rekayasa sosial, pesantren berupaya untuk wujudnya kondisi sosial yang diharapkan. Keinginan untuk merancang kondisi sosial ini muncul ketika kondisi faktual berjalan tidak seperti apa yang diharapkan. Atau dalam kata lain terdapat gap antara kondisi yang diinginkan dengan kondisi yang ada.
Relevan dengan peran pesantren pada zamannya fungsi pesantren secara garis besar terbagi menjadi tiga, yaitu sebagai:
a. Lembaga pendidikan
b. Lembaga sosial
c. Lembaga penyiaran agama.
6. Nilai-nilai yang Berkembang di Pesantren
a. Sikap Hormat dan Ta’dzim
Sikap horrnat, ta’dzim dan kepatuhan kepada kyai adalah salah satu nilai pertama yang ditanamkan pada setiap santri. Kepatuhan itu diperluas lagi, sehingga mencakup penghormatan kepada para ulama sebelumnya dan ulama yang mengarang kitab-kitab yang dipelajari.
b. Persaudaraan dan Kebersamaan
Dalam tradisi pesantren persaudaraan menjadi ruh yang mendasari seluruh kegiatan santri sehingga tercipta persaudaraan yang kokoh anatar semua keluarga pondok, tidak hanya di pondok saja bhakan ketika mereka sudah kembali ke pondok. Hal ini terlihat di antaranya dari antusias mereka dalam bersama-sama bergotong royong dalam membangun fisik pondok.
c. Keikhlasan
Dalam tradisi pesantren seorang kyai atau ustadz mengajarkan ilmu kepada santrinya dengan penuh ketekunan dan ketulusan, ia mengajar betul-betul tanpa pamrih. Dengan nilai inilah pesantren bisa menjadi rujukan untuk menuntut ilmu bagi siapapun, tanpa memandang status sosial, sehingga pesantren betul-betul dapat dinikmati oleh semua lapisan.
Jiwa keikhlasan ini akan melahirkan sebuah iklim yang sangat kondusif, harmonis disemua tingkat, dari tingkat atas sampai tingkat yang paling bawah sekalipun, suasana yang harmonis antara tiga unsur yang tidak terpisahkan, yaitu sosok Kyai yang penuh kharismatik dan disegani, para asatidz yang tak pernah bosan untuk membimbing dan santri yang penuh cinta, taat dan hormat. Jiwa dan sikap ini akan mencetak santri yang militan siap terjun berjuang di jalan Allah kapan saja dan dimana saja.
Keikhlasan memiliki nilai yang tinggi dalam pandangan agama islam. Jiwa ikhlas kyai dalam menegakkan agama serta keikhlasan yang ditanamkan pada jiwa santri menjadikan pesantren mampu melahirkan intelektual-intelektual muslim yang berakhlakl karimah.
d. Kesederhanaan
Ksederhanaan atau dalam istilah pesantren disebut tawassuth atau iqtishad. Nilai ini tampak dalam kehidupan sehari-hari kiai dan santri-santrinya. Mereka menggunakan segala sesuatu dengan sederhana dan apa adanya.
Kesederhanaan menjadi nilai dasar pesantren, karena dengan sikap inilah kecemberuan sosial yang bersifat material bisa dikikis habis. Kesederhanaan di sini meliputi kesederhanaan dalam pola hidup, pola pikir, pola perasaan, pola perilaku.
Dibalik kesederhanaan itu akan terpancar jiwa besar, berani maju dan pantang mundur dalam segala kondisi sesulit apapun, bahkan pada jiwa kesederhanaan inilah hidup dan tumbuhnya mental dan karakter yang kuat sebagai syarat mutlak untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dalam semua ruang lingkup kehidupan. Sikap sederhana inilah yang menjiwai pesantren sehingga eksis hingga kini.
e. Nilai Kemandirian
Baik santri maupun pihak pesantren memiliki jiwa kemandirian dalam kehidupannya, sehingga santri tidak cengeng, dan bisa berkembang menjadi pribadi yang tangguh dan tidak mudah menyerah.
f. Nilai Keteladanan
Nilai keteladanan memberikan pengaruh yang besar terhadap keberhasilan di pesantren. Kyai merupakan teladan bagi para santri begitu pula santri saling meneladani antara satu dengan yang lainnya. Sehingga pesantren sebagai lembaga pendidikan agama lebih mudah dalam mewujudkan santri yang berakhlak mulia. Hal ini dikarenakan adanya konsep bahwa mengamalkan ilmu adalah hal yang wajib setelah ilmu itu sendiri.

C. PESANTREN SALAFI DI TENGAH TANTANGAN MODERNISASI

1. Pesantren Di Tengah Globalisasi dan Modernisasi
Globalisasi dan Modernisasi adalah dua sisi dari satu mata uang, Ia juga menawarkan sebuah pilihan yang ambivalen, satu sisi membawa kebaikan kalau mamang kita siap, dan mungkin juga membawa petaka kalau kita gagap. Globalisasi juga menawarkan berbagaai macam pilihan bisa menguntungkan juga bisa membahayakan. Globalisasi adalah sebuah keniscayaan yang nyata yang mau tak mau akan kita hadapi bersama, Ia tak terelakkan.
Menghadapi tantangan ini pesantren dituntut untuk bertindak bijak. Kalau serta merta menolak globalisasi dengan melestarikan kostruksi lama dan tidak mau melihat sesuatu yang baru sangat jelas ini akan merugikan pesantren di kemudian hari, karena orang moderen sebagai mana disebutkan di atas lebih memenitingkan nilai-nilai instrumental.
2. Upaya Mempertahankan Sistem Pesantren
Mengikuti perkembangan zaman akhir-akhir ini pesantren telah membuka diri. Jika dahulu pesantren hanya sebagai tempat mengaji ilmu agama melalui sistem sorogan, wetonan, dan bandongan, maka saat ini telah membuka pendikan sistem klasikal dan bahkan program baru yang berwajah modern dan formal seperti madrasah, sekolah, dan bahkan universitas. Sekalipun pendidikan modern telah masuk ke pesantren, akan tetapi tidak boleh menggeser tradisinya, yakni gaya kepesantrenan. Sebaliknya, kehadiran lembaga pendidikan formal ke dalam pesantren dimaksudkan untuk memperkokoh tradisi yang sudah ada, yaitu pendidikan model pesantren. Adaptasi adalah suatu bentuk keniscayaan tanpa menghilangkan ciri khas yang dimiliki pesantren (al-muhâfazhah `ala al-qadîm as-shâlih wa al-akhdzu bi al-jadîd al-ashlah).
Tradisi yang dimaksud untuk selalu dipertahankan oleh pesantren adalah pengajaran agama secara utuh. Pendidikan pesantren sejak awal memang bukan dimaksudkan untuk menyiapkan tenaga kerja terampil pada sektor-sektor modern sebagaimana diangankan sekolah dan universitas pada umumnya. Melainkan diorientasikan kepada bagaimana para santri dapat memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam secara baik. Pendidikan pesantren adalah pendidikan Islam yang berusaha mengantarkan para santri menjadi alim dan shalih, bukan menjadi pegawai atau pejabat.
Dalam perkembangannya ke depan, yang harus selalu diingat adalah bahwa pesantren harus tetap menjadi ‘rumah’ dalam mengembangkan pertahanan mental spiritual sesuai dengan perkembangan jaman dan tuntutan masa. Selain itu, ilmu yang diajarkan di pesantren harus memiliki pola perpaduan (umum-agama) yang dilandasi karakteristik keilmuan Islam , diantaranya bersumber dari Allah SWT, bersifat duniawi dan ukhrawi, berlaku umum untuk semua komunitas manusia, realistis, dan terpadu (integral); artinya tidak membeda-bedakan pada dimensi keilmuannya, serta universal sehingga dapat melahirkan konsep-konsep keilmuwan di segala bidang dan semua kebutuhan manusia. Dan, yang tak kalah pentingnya adalah pesantren, yang merupakan pendidikan berbasis agama (Islam), harus mampu memaksimalkan aspek da’wah karena da’wah merupakan bagian dari Islam dan tidak bisa dipisahkan dengan ilmu-ilmu keislaman.

D. PENGALAMAN PONDOK PESANTREN DARUL HUDA
1. Sejarah Pondok

Pondok Pesantren Darul Huda merupakan salah satu dari sekian banyak pondok pesantren yang ada di Kabupaten Ponorogo, berdiri sejak tahun 1968 Oleh K.H. Hasyim Sholeh. Pada awalnya berdirinya mempunyai pengertian yang sederhana sekali yaitu sebagai tempat pendidikan yang mempelajari pengetahuan agama islam di bawah bimbingan seorang guru atau Kyai. Sejalan dengan perkembangan zaman dan tuntutan masyarakat dewasa ini, lembaga pendidikan Pondok Pesantren masih tetap bertahan di dalam pendidikan modern, bahkan semakin eksis berkembang sedemikian rupa baik jumlah santrinya, tujuannya, maupun sistem pendidikan yang diselenggarakannya.
Belajar dari pengalaman bahwa banyak pondok pesantren yang termasyhur tetapi kemudian tenggelam setelah meninggalnya Pengasuh, maka menurut pengalaman KH. Hasyim Sholeh pelimpahan tanggung jawab mengasuh pesantren turun temurun lewat garis ahli waris adalah penyebab masalah tersebut. Oleh karena itu, untuk mempertahankan kelangsungan hidup Pondok Pesantren Darul Huda, sejak tahun 1984 sistem ahli waris di Pondok Pesantren Darul Huda dihapus dan diganti dengan pengelolaan Yayasan. Dengan dikelolanya Pondok Pesantren Darul Huda dalam sebuah payung yayasan maka tidak lagi menjadi milik pribadi Kyai tetapi milik seluruh umat Islam. Selanjutnya kaderisasi tidak hanya terbatas pada sistem keluarga semata, tetapi berdasarkan kemampuan serta bakat dan minat.
Pondok Pesantren Darul Huda terus berevolusi secara bertahap baik dalam perkembangan sistem pendidikan maupun perkembangan sarana fisiknya. Perubahan serta pembaharuan yang dilakukan Pondok Pesantren Darul Huda semakin cepat terutama setelah dibukanya lembaga baru pada tahun 1989. Hal tersebut dimaksudkan sebagai kesiapan pesantren dalam menghadapi tantangan dan tuntutan zaman yang semakin kompleks. Karena itu, demi kelangsungan pada masa- masa yang akan datang dibutuhkan persiapan yang lebih matang.
Sesuai dengan orientasi Pondok Pesantren Darul Huda yaitu pemasyarakatan, maka pembinaan dan perbekalan yang diberikan kepada santri difokuskan pada masalah- masalah kemasyarakatan dengan harapan semoga mereka yang telah menyelesaikan pendidikan di Pondok Pesantren
Darul Huda mau berjuang ditengah- tengah masyarakat dengan segala kemampuan yang dimilikinya.

2. Dasar- Dasar Dan Tujuan Pendidikan
Dasar Pondok Pesantren Darul Huda yang menganut sistem Salafiyah Haditsah adalah ِا Al-muhâfazhah `ala al-qadîm as-shâlih wa al-akhdzu bi al-jadîd al-ashlah artinya melestarikan metode yang lama yang baik dan mengambil metode baru yang lebih baik. Sedangkan tujuan yang ingin dicapai oleh Pondok Pesantren Darul Huda adalah mendidik santri supaya berilmu, beramal, dan bertaqwa yang dilandasi dengan akhlakul karimah.
3. Sistem Pendidikan
Pondok pesantren Darul Huda sejak awal berdirinya memegang teguh sistem pendidikan salaf (Tradisional) sebagaimana pondok salaf pada umumnya. Pada awal mula berdirinya pondok pesantren Darul Huda hanya mengajarkan kitab-kitab klasik warisan para auliya terdahulu. Metode pembelajarnnyapun masih sebatas pada metode pembelajaran salaf, yaitu metode sorogan dan wekton. Bahkan para santri pada saat itu masih belum terfokus pada belajar, tapi mereka sambil nyambi bekerja guna mencukupi kebutuhan sehari-hari di pondok.
Seiring dengan perkembangan zaman yang dihadapkan pada tantangan modernisasi dan globalisasi yang terus melaju, maka Pondok Pesantren Darul Huda berupaya untuk beradaptasi. Pengembangan dan inovasi pada berbagai komponen di Pondok Pesantren Darul Huda terus di lakukan sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Mulai dari sistem pedidikan hingga tingkat manajemen kepemimpinannya.
Pengembangan dan inovasi yang dilakukan tidak berarti berupaya melemahkan nilai-nilai dan sistem pendidikan tradisional yang sejak awal dianutnya, tapi justru sebagai usaha mempertahankan dan mengukuhkannya.
Dengan berpedoman pada qaidah “Al-muhâfazhah `ala al-qadîm as-shâlih wa al-akhdzu bi al-jadîd al-ashlah” Darul Huda terus berusaha untuk memegang prisip-prisip pendidikan tradisional (salaf) sebagai model pendidikan asli dan khas di Indonesia. Dan berlandaskan pada qaidah ini pula Darul Huda mengepakkan sayapnya dalam rangka mewujudkan sebuah lembaga pendidikan alternatif yang mempertahankan tradisi dan nilai salaf (tradsional) nya dan tetap mapu bertahan di tengah tantangan globalisasi dan modernisasi yang menggiurkan.
Salah satu wujud dari upaya pengembangan tersebut adalah diselenggarakannya pendidikan formal dengan mengacu pada kurikulum DEPAG. Maka pada tahun 1989 dibukalah Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah Darul Huda.
Dengan dibukanya lembaga pendidikan baru ini diharapkan mampu memberikan nilai tambah bagi sistem yang diterapkan di Darul Huda, dan bukan sebaliknya. Karena, diakui maupun tidak, pesantren dengan sistem yang justru dianggap tradisional (kuno) telah mampu melahirkan intelektual-intelektual muslim yang hingga di zaman serba modern ini nama mereka tetap harum. Sebuah sytem pendidikan unik nan tradisionil yang hampir tidak ada bandingannya di negeri asalnya ini. Sehingga dengan bahasa lain dapat dikatakan bahwa kehadiran dua lembaga formal yang termasuk pada kategori sistem modern tersebut adalah sebagai upaya adaptasi, sehingga sistem tradisional yang ada dapat dipertahankan dan diterima oleh masyarakat serta tidak dipandang sebelah mata.
4. Visi Dan Misi
Visi pondok pesantren Darul Huda adalah berilmu, beramal dan bertaqwa dengan dilandasi akhlaqul karimah.
Misi Pondok Pesantren Darul Huda adalah: Menumbuhkan budaya ilmu, amal dan Taqwa diserta Akhlaqul karimah pada jiwa santri dalam pengabdiannya dalam Agama dan masyarakat Menumbuhkan budaya ilmu, amal dan Taqwa diserta Akhlaqul karimah pada jiwa santri dalam pengabdiannya dalam Agama dan masyarakat
5. Lembaga Pendidikan
a. Pondok Putra dan Putri
Sistem pendidikan di Darul Huda melalui lembaga ini adalah pedidikan melaui sistem tradisional. Santri mendapat pendidikan melaui pembiasaan keseharian. Rutinitas santri di asrama secara umum diatur oleh ketentuan yang berlaku di pondok, kehidupan santri di pondok tidak lepas dari aturan pondok. Secara umum prinsip pendidikan di asrama dapat digambarkan sebagai berikut:
1. Dengan prisip berilmu, beramal, bertaqwa, dan berakhlakul karimah, pendidikan di Darul Huda tidak hanya diarahkan pada penguasaan ilmu belaka, akan tetapi lebih dari itu membing santri dalam mengamalkan segala ilmu yang diperoleh, sehingga dapat memiliki jiwa taqwa yang selanjutnya pasti akan melahirkan akhlaqul karimah. Itulah sebabnya Darul Huda lebih menekankan pada proses perolehan ilmu yang bermanfaat dari pada ilmu itu sendiri. Sehingga Darul Huda masih memegang erat nilai-nilai yang terkandung dalam kitab Ta’limul Muta’allim.
2. Kedhidupan santri di pondok dibimbing oleh pengurus sebagai kepanjangan tangan dari pengasuh yang dilanjutkan oleh santri senior yang disebut dengan “Bapak Kamar” atau “Musyrif”
3. Dalam menjalankan kehidupan di pondok, santri terikat oleh seperangkat aturan sebagai sarana mendidik mental mereka sehingga memiliki jiwa yang taqwa dan berakhlakul karimah. Selain itu juga aturan-aturan tersebut sebagai sarana riyadlah santri. Sehingga dapat dikatakan bahwa salah satu riydlah santri adalah “menaati peraturan”.
4. Dalam rangka meningkatkan kualitas spiritual santri mereka diwajibkan menjalankan ibadah yang menjadi rutinitas di pondok, diantaranya:
a. Shalat Jamaah beserta wiridnya sebagai rutinitas harian.
b. Mujahadah dan zyarah Auliya’ sebagai rutinitas bulanan dan tahunan.
c. Dzibaan dan membaca aurad burdah sebagai rutinitas mingguan
d. Khataman al Qur’an sebagai rutinitas bulanan
5. Pendalaman kitab kuning melalui sistem:
a. Sorogan
Sistem sorogan yang diterapkan di pondok pesantren Darul Huda adalah sistem “santri aktif”. Santri membaca dihadapan ustadz, kemudian ustadz menanyakan beberapa persoalan yang berkaitan dengan materi yang telah dibaca. Secara yang dikaji dengan melalui sistem sorogan adalah al Qur’an bagi pemula dan kitab bagi santri lanjutan. Kitab yang dikaji melalui metode ini adalah Safinatunnaja (menekankan pada pemahaman nahwu sharaf), Sulam Taufiq (menekankan pada pemahaman teks) dan Fathul Qorib (menekankan pada pemahaman teks dan masail waq’iyyah).
Selain sebagai sarana untuk mendalami kitab kuning, kegiatan sorogan juga dijadikan sebagai wahana pembinaan akhlaq santri oleh ustadz pembimbingnya masing-masing. Kegiatan ini dilaksanakan empat malam dalam satu minggu.
b. Wekton
Sistem wekton yang diterapkan adalah sistem kuliah, dimana ustadz membacakan kitab sementara santri memberikan ma’na pada kitab yang dikaji dan mencatat beberapa keterangan yang diperlukan. Sistem wekton yang ditapkan dapat dibedakan ke dalam beberapa kegiatan, yaitu: (1) Wekton setelah shalat (subuh, dzuhur dan isya’), (2) pengajian kilat pada waktu tertentu dan (3) pengajian pondok Romadlon. Di antara kitab yang dikaji dalam kegiatan wekton harian adalah: Tafsir Jalalain, Shahih Bukhori, Sirojut Thalibi, Tanbihul Ghafilin, dll.
c. Takror
Istilah takror digunakan oleh Darul Huda sebagai penyebutan sebuah kegiatan musyawarah santri guna membahas pelajaran yang diperoleh di Madrasah Diniyah. Kegiatan ini selain sebagai sarana mengulang pelajaran yang telah diajarkan juga melatih santri untuk kritis dalam belajar. Dengan kegiatan ini pula santri senior mendapatkan kesempatan untuk membimbing adik-adiknya..
d. Syawir
Syawir adalah kegiatan musyawarah bagi santri tingkat mahasiswa guna membahas kitab-kitab tertentu. Kegiatan ini berguna untuk melatih santri tingkat mahasiswa untuk berjiwa kritis terutama dalam mendalami Fiqih dan ilmu alat (Nahwu dan Shorof).
e. Bahtsul Kitab (Bedah Kitab)
Bahtsul Kitab adalah kegiatan pengkajian suatu kitab secara global agar kandungannya dapat segera dimengerti dan diterapkan oleh santri tanpa melaui proses yang ketat dan akurat. Selain itu juga kegiatan ini dimaksudkan untuk memberiakan informasi lebih dalam perihal kitab yang dikaji sehingga dapat memberikan motovasi yang besar kepada santri agar kedepan mereka mengkajinya secara mendalam, ketat dan akurat.
f. Bahtsul Masail
Bahstul Masail diselenggarakan guna membahas persoalan-persoalan kekinian untuk diketahui setatus hukumnya dan sekaligus landasan hukumnya.
6. Pengembangan bagasa Arab dan Ingris melalui pembinaan asrama bahasa.
7. Peningkatan kreativitas santri melaui kegiatan-kegiatan di luar kegiartan pokok, di antaranya: kaligrafi, hadrah, qiro’ah, olah raga, muhadlarah, berbagai pelatihan maupun seminar, dll.
b. Madrasah Diniyah “Miftahul Huda”
Madrasah Miftahul Huda yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan MMH, adalah merupakan realisasi dari pola pendidikan di pondok pesantren Darul Huda, ‘ala nahjis salafiyah haditsah dengan motto : Al Muhafadzatu Ala al Qadim ash Shalih wa Al Akhdzu bil Jadid Al Ashlah (Melestarikan hal-hal lama yang baik dan mengembangkan hal-hal baru yang lebih baik dan bermanfaaat) dengan melalui pembelajaran kitab-kitab kuning mu’tabaroh hasil ijtihad ulama-ulama besar islam, dengan tujuan untuk menjaga warisan dan kesinambungan kekayaan khazanah intelektual islam yang diwarisakn secara terus menrus dari generasi ke generasi.
MMH yang merupakan cikal bakal pondok pesantren Darul Huda pada mulanya berbentuk madrasah diniyah sederhana yang santrinya adalah warga mayak dan sekitarnya. Baru kemudian setelah tahun 1968 dengan manajemen yang modern mengalami perkembangan pesat sampai sekarang. Dan oleh sebab itulah santri yang mondok di Darul Huda, maka wajib menempuh sekolah di MMH, berbeda dengan MA/MTs “ Darul Huda “.
Sejarah telah mencatat bahwa pada awal berdirinya, jenjang pendidikan di MMH sangat lama tidak jauh berbeda dengan pendidikan di pondok-pondok salaf pada umumnya yakni :
1. Tingkan sekolah persiapan ( SP ) : selama 2 tahun
2. Tingkat Tsanawiyah : selama 3 tahun
3. tingkat Aliyah : selama 3 tahun
Dengan demikian santri baru bisa tamat/lulus di MMH harus menempuh pendidikan selama 8 tahun. Seiring dengan perkembangan zaman yang terus menuntut adanya perubahan, maka pada tahun ajaran 2009/2000 pola pendidikan di MMH juga mengalami perubahan menjadi 6 tahun dengan kelas tambahan berupa :
1. Kelas Exsperimen diperuntukkan bagi siswa MA/sederajat yang sudah memiliki kemampuan membaca kitab kuning ( sudah pernah sekolah diniyah sebelumnya )
2. Kelas SP ( sekolah persiapan ) yang diperuntukkan bagi mereka yang belum pernah / belum bisa membaca serta tulis menulis Arab.
Setelah 6 tahun kemudian dilanjutkan dengan program Takhasus (pendalaman kitab-kitab kuning ) selama 2 tahun. Namun perubahan pola itu tidak mengurangi kualitas pendidikan madrasah yang diberikan pada tahun-tahun sebelumnya.
Perubahan pola pendidikan tersebut terjadi dengan semakin pesatnya perkembangan jumlah santri di pondok DARUL HUDA yang umumnya setingkat MTs / MA ” DARUL HUDA ” yang ketika mereka sudah lulus, akan tetapi di MMH-nya belum lulus dengan lama pendidikan selama 8 tahun. dengan perubahan tersebut diharapkan santri ketika 6 tahun di MTs / MA ” DARUL HUDA ” juga bisa menamatkan pendidikan di MMH, sehingga di harapkan lulusan pondok pesantren ” DARUL HUDA ” merupakan lulusan siap pakai dan bisa mewarnai masyarakatnya dengan bekal ilmu yang didapat baik ilmu umum maupun ilmu agama. Dan disinilah nilai plus pondok pesantren ” Darul Huda ” dibandingkan dengan lainnya.
Selain mengajarkan kitab-kitab klasi, MMH juga memberikan pelatihan keorganisasian melalui “Himpunan Murid Miftahul Huda (HIMMAH)” dan “Ikatan Santri Tahkassus(IKHSANT) dan berbagai pelatihan yang lain guna menunjang dan menuntaskan mata pelajaran di MMH seperti, pelatihan manasik haji, pelatihan tajhiz janazah, Fiqhun Nisa’, Bahtsul Kutub, dll.
c. Madarasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah
Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah Darul Huda adalah dua lembaga yang berbeda yang keduanya sama-sama berada di bawah naungan Yayasan Pondok Pesantren Darul. Lembaga ini merupakan lembaga pendidikan dengan sistem moderen. Kurikulum yang diterapkan pun mengacu pada DEPAG. Keberadan MTs Darul Huda diharapkan mampu mengiringi sekaligus melengkapi sytem tradisional yang sejak awal dianut oleh Darul Huda. Segala pelajaran yang diberikan di MTs Darul Huda diharapkan juga mampu mewujudkan santri yang bertaqwa dan berakhlakul karimah. Sistem pendidikannya yang moderen diharapkan tidak hanya mampu mendidik santri pada ranah kognitif saja (sebagaimana yang dialami kebanyakan lembaga pendidikan formal) tapi juga pada ranahafektif dan psikomotorik. sehingga mampu melahirkan insan kamil.
Materi pelajaran yang bersifat umum diharapkan mampu diarahkan pada upaya memperkokoh keimanan santri seperti lebih mengarahkannya sebagai sarana tafakkur fi khalqillah dari pada sebagai sarana mengisi daftar nilai.

E. PENUTUP
Betapapun pesantren berkembang dengan segala bentuknya masing, namun upaya mempertahankan tradisi salafiyah hendaklah terus dilakukan. Pengaruh globalisasi dan modernisasi yang merajalela hendaklah disikapi dengan bijak, karena tanpa adanya mawas diri dengan perkembangan yang ada dikhawatirkan akan melunturkan kemurnian prinsip pesantren sebagai lembaga pendidikan yang telah diwariskan oleh para wali songo dan ulam’ terdahulu. Namun demikian tidak pula tepat pesantren menutup mata dengan perkembangan tersebut.


BAHAN BACAAN:
Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kiai, Jakarta, LP3ES,1984
Haedari, Amin, Drs, M.Pd, H, dan El Saha, Ishom, MA, Peningkatan Mutu Terpadu Pesantren dan Madrasah Diniyah,Jakarta, Diva Pustaka, 2006.
Tim Penyusun, Bunga Rampai Pesantren: Kumpulan Tulisan dan Karangan Abdul Rahman Wahid, Jakarta, CV. Dharma Bhakti, 1399 H.
Haedari, Amin, Drs, M.Pd, H, Panorama Pesantren dalam Cakrawala Modern, Jakarta, Diva Pustaka,2004.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

maaf, saya mau tanya, pesantren yang benar2 masih tradisional di jawa timur di mana yah...?
thanks

perpus mayak ponorogo's Fan Box

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Blogger Templates